Ada banyak guru inspiratif di Gontor, maka tak aneh jika di kemudian hari lahir pula generasi-generasi inspiratif yang mewarnai dunia pendidikan Indonesia berasal dari almamater Gontor.
Dari sekian banyak guru inspiratif tersebut, salahsatunya adalah Alm. DR Dihyatun Masqon. Beliau adalah guru yang ramah dan murah senyum, termasuk kepada semua anak didiknya.
Mengenai bagaimana keindahan prilaku beliau sebagai pendidik ini telah ditulis oleh seorang alumni Gontor 1999 (akhir), yaitu Ust Oky Rachmatulloh.
Berikut tulisan beliau….
Pengedara Yamah Force 1 itu…
Saya baru memasuki tahun kedua di Gontor waktu itu. Baru mengenal beberapa Guru senior yang mengajar, itu juga yang akrab hanya beberapa. Diantara yang saya kenal itu adalah Ust Dihyatun Masqon.
Saya hanya tau nama beliau dari Bapak, beliau adalah menantu Ust Imam Subakir Ahmad. Saya tahu itu dari bapak saya. Selebihnya saya tidak tahu. Yang saya tahu beliau adalah pengendara Yamah Force 1, Motor tahun 90-an yang masih beliau kendarai meskipun Guru-Guru yang lain sudah menggunakan motor baru dengan tehnologi empat tak.
Tapi entah kenapa, beliau saya lihat jauh lebih sering memakai Yamah Force 1 itu. Hal lain yang saya ketahui dari beliau adalah beliau ini pribadi yang teramat sangat murah senyum. Bukan murah senyum lagi menurut saya, tapi obral senyum. Kepada siapapun, kepada sesama Rekan Guru, kepada para santri, bahkan kepada saya yang jauh usianya dari beliau inipun, tidak pernah jeda beliau berikan sedekah senyum kepada kami. Pertama yang saya tahu adalah, beliau pengajar bahasa arab.
Ketika Guru tahun pertama, itu lah ketika saya tahu siapa beliau dana betapa habatnya kapasita keilmuan beliau. Alumni Punjab Lahore India ketika menempuh pendidikan S3 ini naik Yamah Force 1 lalun berkeliling dari satu kelas enam ke kelas enam yang lain, dari satu kelas lima ke kelas lima yang lain.
Ust Syukri pada waktu itu sering sekali berkata “Ada doktor, ngajar anak-anak SMU kelas dua dan kelas tiga. Ini cuma ada di Gontor” Saya pada waktu itu masih jauh dari lingkaran pengertian dalam mencerna kata-kata itu. Kelak, ketika 15 tahun kemudian, baru saya sadari betapa hebatnya ust DihyatUn masqon itu, Doktor yang lulusan Madinah, Lulusan Pakistan dan India, pernah ke mesir dan perguruan tingginya semuanya kelas satu itu, mau-maunya mengajar anak-anak SMU. Mau-maunya “Cuma” naik motor Force 1 kemana-mana, mau-maunya obral senyum kepada kami para santri yang entah pojokan India sekalipun bahkan kami ndak tahu sama sekali. Disitu saya baru faham, kenapa Ust Syukri bangga sekali kepada beliau ini….
Ketika lebaran, kami konsulat Ponrogo mempunya kebiasaan untuk berkeliling ke rumah ust-ust senior. Termasuk ke rumah Ust Imam Subakir Ahmad, mertua beliau. Sampai disana sudah habis Isya. Disini sekali lagi saya dibuat terbelalak, beliau menjamu kami yang datang kerumah mertua beliau seperti menjamu tamu kehormatan.
Kami dipeluk seakan-akan kawan lama yang tak pernah jumpa, kami diperhatikan satu persatu dengan senyum merekah beliau yang tak pernah henti sepnajng kami silaturahmi. Dan beliau mengambilkan makanan untuk kami, para santri yang bahkan belum lulus Gontor. Kami dilayani, kami dihormati, kami mendapat sesuatu yang belum pernah kami temuai ditempat lain, dan ini dialkukan oleh doktor lulusan timur tengah…Masya Allah…Masya Allah…
Sekali lagi ketika saya sudah memasuki kuliah kelas akhir. Teman saya yang skripsi-nya diampu beliau ketika bertemu dengan beliau di Sialturahmi Sawalan. Setengah mati dia mencoba mengindar dari beliau, karena sampai hari itu, dia beluam nambah lagi skripsinya, masih BAB 1 alias propsoal skripsinya yang dia serahkan. Tapi apa daya, ketika dia akhirnya bertemu dengan Ust Dihyatun, beliau menyalaminya dengan erat, sangat erat. Dan yang mengejutkan, Ust Dihayutn yang lebih dahulu minta maaf…
“Afwan akhi..mohon maaf sekali, saya Ramadahn kemarin sibuk sekali sehingga belum bisa memeriksa skirpsi antum. Saya mohon maaf sekali, betul-betul minta maaf… Begini saja ya, antum serahkan skripsi antum kepada saya minggu ini, saya Usahakan saya koreksi secepatnya, sehingga bisa cepat antuk perbaiki…begitu ya, mohon maaf sekali…”
Teman saya tertegun, dia ndak tahu harus berkata apa. Dia sama sekali belum mengerjakan skripsinya, tapi pembimbingnya yang lebih dahulu minta maaaf. Dia tercekat sweribu bahasa….
Terakhir saya intens bertemu beliau adalah ketiak sekarang saya jadi mahasiswa S-2 di Unida. Pertama kali bertemu beliau ketika beliau melihat saya mau masuk kelas Sekali lagi dengan senyum hangatnya, beliau menyalami saya seakan saya sudah lulus S-2…
“Ahlan…Ahlan…Jadi masuk ke siani antum??
Tafadol..tafadol…mabruk..Alhamdulillah..Allah kirim lagi putra Gontor kesini…Alhamdulillah…ayo, saya yakin antum bisa selesai secepatnya…saya tunggu di wisuda ya…”
Saya rikuh tak alang kepalang, tapi doa beliau saya amin-kan, saya jadikan tekad bahwa saya harus selesai seceptanya, lalu mengabdi kepada masyarakat…Terima kasih doa antum Ustadku…
Saat ini..beliau tersenyum dengan semua jariyyah beliau, memadang kedamaian Darussalam dari dekat tapi tidak kita rasakan…beliu sudah di makamkan…tapi beliau masih hidup…akan selalu hidup..menjadi perbincangan tentang kebaikan kepada umat sesudah beliau wafat…
Selamat jalan Ust…Teladanmu adalah cerminan sikap bagi kami…